California - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi pemimpin dalam sesi diskusi mengenai kontra terorisme pada US-ASEAN Summit hari kedua. Dalam paparannya, dia membagikan kiat-kiat memberantas terorisme, baik menggunakan metode hard power maupun soft power.
Pada pidato pembukanya di Sunnyland, California, Selasa (16/2/2016), presiden menyampaikan rasa terima kasih atas simpati dan perhatian negara-negara sahabat di ASEAN dan Amerika Serikat terkait kejadian teror di Thamrin, Jakarta, bulan lalu. Dalam forum ini, Jokowi begitu membanggakan aparat kepolisian dan TNI yang bisa dengan cepat menetralisir keadaan pasca teror.
"Saya juga bangga kepada aparat keamanan Indonesia. Dalam waktu relatif singkat, situasi sudah terkontrol dan Jakarta kembali normal. Namun kita tetap waspada terhadap ancaman terror," kata Jokowi.
Jokowi menjelaskan, teror bom di Jakarta mengingatkan semua pihak tentang pentingnya kerja sama dalam tiga hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstrimisme, serta mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif. Menurutnya,ada dua metode yang bisa digunakan untuk memberantas terorisme, yakni penggunaan hard power dan soft power.
Indonesia saat ini tengah memproses Undang-undang terorisme. Hal itu dilakukan untuk memberikan ruang bergerak lebih luas bagi aparat kepolisian untuk memberantas teroris dengan adanya payung hukum yang lebih kuat.
"Penguatan legislasi ini, tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia," tegas Jokowi.
Pemerintah, menurut Jokowi, tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan kepolisian untuk memberantas terorisme. Harus dilakukan juga pendekatan secara soft, sehingga paham terorisme tidak berkembang. Presiden menyebut, cara-cara yang bisa dilakukan antara lain dalam pendekatan secara agama dan kebudayaan, melibatkan masyarakat, organisasi masyarakat dan keagamaan untuk mencegah terorisme. Selain itu bisa dilakukan juga deradikalisasi terhadap narapidana teroris.
Pada kesempatan itu, Jokowi juga membahas soal Foreign Terorist Fighters (FTF). Hampir semua negara menghadapi masalah ini, yakni warga negaranya bergabung dengan jaringan teroris internasional. Jokowi mengungkapkan, jumlah warga negara Indonesia yang saat ini ada di Suriah dan diduga bergabung dengan kelompok teroris ada 329 orang. Jumlah itu tentu bisa dibilang kecil dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta.
Penyebab kecilnya jumlah warga Indonesia yang bergabung dengan jaringan teroris internasional karena Indonesia tidak memiliki pemerintah yang represif, tidak dalam pendudukan, serta kondisi politik yang relatif stabil. Sehingga, keinginan warga untuk bergabung dengan jaringan teroris internasional menjadi sangat kecil.
"Dapat ditarik pelajaran bahwa untuk memerangi terorisme dan mengurangi FTF diperlukan kestabilan politik, pemerintah yang demokratis, serta tidak dalam pendudukan asing," tutur Jokowi.
Presiden lalu menyampaikan gagasannya untuk memanfaatkan media sosial dalam menghadapi ekstrimis dan teroris. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa penyebaran paham ekstrimis dan ajakan bergabung dengan jaringan teroris internasional banyak dilakukan melalui media sosial.
"Oleh karena itu, kita harus bekerjasama dengan media sosial dalam menyebarkan perdamaian dan toleransi sebagai counter narasi," ucap Jokowi.
"Saya mengajak agar Yang Mulia berkenan bergabung dengan saya untuk memperbanyak narasi melalui media sosial mengenai moderasi, toleransi, dan perdamaian," ajak Jokowi sembari menutup pidato pembuka sesi pembahasan terorisme dalam KTT ASEAN-AS.
Comments
Post a Comment
ayo di koment atuh