Ilmuwan NASA berhasil mendaratkan wahana antariksa Phoenix di Mars tanpa kantong udara. Peluncuran Phoenix yang sedianya dilakukan pada 2001 itu tertunda karena faktor dana. TEPUK tangan riuh bergema di ruang pusat pengendali Laboratorium Propulsi Jet, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA), Senin, 26 Mei 2008 silam. Para ilmuwan NASA meloncat kegirangan setelah mengetahui wahana antariksa tanpa awak, Phoenix Mars Lander, berhasil mendarat di kutub utara Planet Mars pada pukul 7.53 GMT. Keberhasilan misi Phoenix ini tentu saja sangat melegakan para ahli NASA.
Sebab, selama ini, tingkat kegagalan misi ke Planet Mars sangat tinggi. ”Dari 11 misi ke Planet Mars, hanya lima yang berhasil mendarat dengan selamat di ‘planet merah’ itu,” ujar Wakil Administratur NASA, Ed Weiler. Kegagalan misi ke Planet Mars yang terparah terjadi pada September 1999. Pada waktu itu, wahana pendarat Mars Climate Orbiter ”ditelan” planet merah karena kesalahan navigasi. Para teknisi mencampuradukkan perhitungan satuan feet dengan meter.
Kemudian, pada Desember 1999, Mars Polar Lander juga hilang di Mars. Keberhasilan Phoenix mengobati dua kegagalan itu. Sinyal radio Phoenix diterima pada pukul 04.53.44 PM waktu Pasifik dan mengonfirmasikan bahwa Phoenix selamat setelah melalui perjalanan melelahkan. Sinyal dengan kecepatan cahaya itu butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bumi. Phoenix mengirim gambar-gambar yang menunjukkan bahwa dia dalam kondisi baik pada saat mendarat.
Setelah menempuh perjalanan dari bumi ke Mars sejauh 422 juta mil atau 675 juta kilometer selama tujuh bulan, selajuntnya Phoenix melakukan misi di Mars selama tiga bulan. Ia akan menggunakan instrumennya untuk menyelidiki tanah dan es di kutub utara Mars. “Kami melihat sangat kurang batuan yang kami harapkan. Kami tidak melihat es di permukaan. Tapi kami berpikir, kami akan melihat itu di bawah permukaan,” kata Peter Smith dari Universitas Arizona, Tucson, kepala pemeriksa untuk Misi Phoenix.
Sesuai dengan programnya, Phoenix akan berhenti memancarkan sinyal satu menit setelah mendarat. Tenaga baterai yang terbatas digunakan untuk membuka panel surya dan aktivitas kritis lainnya. Sekitar dua jam setelah panel surya membentang, Phoenix mengirim berita yang amat baik. Selanjutnya beterai yang sudah habis akan diisi dari panel surya.
Gambar-gambar pertama mengonfirmasikan bahwa panel surya sebagai pemasok energi membentang dengan sempurna. Demikian pula tiang kamera stereo dan stasiun cuaca berhasil mengambil kedudukan tegak lurus. “Menyaksikan gambar ini setelah berhasil mendaratkannya menegaskan lagi hasil kerja lima tahun lalu oleh regu besar,” kata Barry Goldstein, Manajer Proyek Phoenix.
Phoenix membawa peralatan ilmu pengetahuan untuk meneliti apakah es di bawah permukaan pernah cair dan menguji apakah bahan kimia dasar kehidupan terpelihara di area es tanah di Mars. Ini pertanyaan kunci dalam mengevaluasi lingkungan, apakah ramah untuk kehidupan mikroskopik. Hasil transmisi Phoenix itu dilaporkan setelah dilakukan pengecekan beberapa komponen dan sistem pada wahana antariksa itu. Ternyata kondisinya cukup prima.
”Phoenix merupakan mesin yang mengagumkan. Dia dibangun dan diterbangkan oleh regu yang mengagumkan pula,” kata Ed Sedivy, Manajer Program Phoenix. Phoenix menggunakan perangkat keras dari wahana antariksa yang dibangun untuk peluncuran pada 2001. Namun peluncuran itu dibatalkan untuk merespons kerugian akibat gagalnya wahana antariksa mendarat di Mars pada 1999.
Ketika itu, NASA mencoba mendaratkan Mars Polar Lander di kutub selatan Mars, tapi gagal lantaran mesinnya mati. Kerugian pada misi itu mencapai US$ 165 juta. Peneliti mengusulkan, misi Phoenix pada 2002 melihat wahana antariksa tak terpakai itu untuk mengejar kesempatan ilmu pengetahuan baru. Kebetulan pada saat itu, dalam pengembaraan mengelilingi Mars, wahana pengorbit NASA menemukan es yang berlimpah-limpah di bawah permukaan Mars.
Misi Phoenix yang sempat dibatalkan itu pun diteruskan dengan biaya US$ 420 juta. Wajar jika misi itu mengambil nama Phoenix alias burung api. Dalam mitologi Mesir kuno, Phoenix adalah burung api legendaris yang keramat. Burung api ini digambarkan memiliki bulu sangat indah warna merah dan keemasan. Setelah hidup sekian lama, Phoenix membakar diri. Selanjutnya dari abunya muncul burung api muda. Jadi, misi Phoenix adalah misi yang hidup lagi.
Melalui ruang kontrol Laboratorium Propulsi Jet, Michael Griffin, Administratur NASA, mencatat bahwa ini merupakan sukses pertama pendaratan di Mars tanpa menggunakan kantong udara, sejak pendaratan Viking 2 pada 1976. “Ini untuk pertama kali dalam 32 tahun. Saya sangat bahagia menjadi saksi prestasi luar biasa ini,” tutur Michael Griffin dengan mata berbinar-binar.
Phoenix diluncurkan pada 4 Agustus 2007, menggunakan roket Delta II dari Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Ia mengandalkan sumber listrik dari sehelai panel surya. Ketika terjun ke Mars, ia menggunakan parasut dan jet pendorong untuk menghambat kecepatannya. Kemudian Phoenix mengirim informasi pada wahana pengorbit Mars Odyssey, yang meneruskannya ke stasiun bumi.
Wahana antariksa tanpa awak ini memasuki atmosfer Mars dengan kecepatan lebih dari 19.200 kilometer per jam. Ia melakukan gerakan akrobatik, antara lain menukik, mengembangkan parasut, lalu membuka perisai penahan panas. Juga menyalakan pendorong (thruster) untuk memperlambat laju, sehingga ketika mendarat, kecepatannya akan turun hingga 8 kilometer per jam.
Phoenix mendarat di lembah dangkal selebar 48 kilometer di kutub utara Mars. Lokasi itu mirip dengan Greenland atau Alaska di bumi. Lokasi tersebut dipilih karena foto-foto ruang angkasa memperlihatkan adanya air beku tersimpan di bawah permukaannya.
Phoenix dilengkapi lengan robotik sepanjang 7,7 kaki –2,5 meter– yang bisa digunakan untuk menggali parit guna mencari lapisan es yang diduga terkubur beberapa inci dari permukaan. Robot wahana antariksa Phoenix berhasil dioperasikan dan meninggalkan jejak kaki di tanah Planet Mars. Jejak itu dijuluki Yeti. Lengan robotik mengumpulkan sampel tanah dan es serta menelitinya.
Lengan robotik berkamera juga mengambil gambar ”ratu salju” di tempat yang dipercaya ada es di bawah permukaannya. “Apa yang kami lihat pada gambar kemungkinan adalah es, dan kami menduga akan melihat hal yang sama ketika menggali di daerah itu,” kata Uwe Keller, pemimpin ilmuwan robotik kamera untuk riset sistem surya dari Institut Max Planck, Katlenburg-Lindau, Jerman.
Sebab, selama ini, tingkat kegagalan misi ke Planet Mars sangat tinggi. ”Dari 11 misi ke Planet Mars, hanya lima yang berhasil mendarat dengan selamat di ‘planet merah’ itu,” ujar Wakil Administratur NASA, Ed Weiler. Kegagalan misi ke Planet Mars yang terparah terjadi pada September 1999. Pada waktu itu, wahana pendarat Mars Climate Orbiter ”ditelan” planet merah karena kesalahan navigasi. Para teknisi mencampuradukkan perhitungan satuan feet dengan meter.
Kemudian, pada Desember 1999, Mars Polar Lander juga hilang di Mars. Keberhasilan Phoenix mengobati dua kegagalan itu. Sinyal radio Phoenix diterima pada pukul 04.53.44 PM waktu Pasifik dan mengonfirmasikan bahwa Phoenix selamat setelah melalui perjalanan melelahkan. Sinyal dengan kecepatan cahaya itu butuh waktu 15 menit untuk sampai ke bumi. Phoenix mengirim gambar-gambar yang menunjukkan bahwa dia dalam kondisi baik pada saat mendarat.
Setelah menempuh perjalanan dari bumi ke Mars sejauh 422 juta mil atau 675 juta kilometer selama tujuh bulan, selajuntnya Phoenix melakukan misi di Mars selama tiga bulan. Ia akan menggunakan instrumennya untuk menyelidiki tanah dan es di kutub utara Mars. “Kami melihat sangat kurang batuan yang kami harapkan. Kami tidak melihat es di permukaan. Tapi kami berpikir, kami akan melihat itu di bawah permukaan,” kata Peter Smith dari Universitas Arizona, Tucson, kepala pemeriksa untuk Misi Phoenix.
Sesuai dengan programnya, Phoenix akan berhenti memancarkan sinyal satu menit setelah mendarat. Tenaga baterai yang terbatas digunakan untuk membuka panel surya dan aktivitas kritis lainnya. Sekitar dua jam setelah panel surya membentang, Phoenix mengirim berita yang amat baik. Selanjutnya beterai yang sudah habis akan diisi dari panel surya.
Gambar-gambar pertama mengonfirmasikan bahwa panel surya sebagai pemasok energi membentang dengan sempurna. Demikian pula tiang kamera stereo dan stasiun cuaca berhasil mengambil kedudukan tegak lurus. “Menyaksikan gambar ini setelah berhasil mendaratkannya menegaskan lagi hasil kerja lima tahun lalu oleh regu besar,” kata Barry Goldstein, Manajer Proyek Phoenix.
Phoenix membawa peralatan ilmu pengetahuan untuk meneliti apakah es di bawah permukaan pernah cair dan menguji apakah bahan kimia dasar kehidupan terpelihara di area es tanah di Mars. Ini pertanyaan kunci dalam mengevaluasi lingkungan, apakah ramah untuk kehidupan mikroskopik. Hasil transmisi Phoenix itu dilaporkan setelah dilakukan pengecekan beberapa komponen dan sistem pada wahana antariksa itu. Ternyata kondisinya cukup prima.
”Phoenix merupakan mesin yang mengagumkan. Dia dibangun dan diterbangkan oleh regu yang mengagumkan pula,” kata Ed Sedivy, Manajer Program Phoenix. Phoenix menggunakan perangkat keras dari wahana antariksa yang dibangun untuk peluncuran pada 2001. Namun peluncuran itu dibatalkan untuk merespons kerugian akibat gagalnya wahana antariksa mendarat di Mars pada 1999.
Ketika itu, NASA mencoba mendaratkan Mars Polar Lander di kutub selatan Mars, tapi gagal lantaran mesinnya mati. Kerugian pada misi itu mencapai US$ 165 juta. Peneliti mengusulkan, misi Phoenix pada 2002 melihat wahana antariksa tak terpakai itu untuk mengejar kesempatan ilmu pengetahuan baru. Kebetulan pada saat itu, dalam pengembaraan mengelilingi Mars, wahana pengorbit NASA menemukan es yang berlimpah-limpah di bawah permukaan Mars.
Misi Phoenix yang sempat dibatalkan itu pun diteruskan dengan biaya US$ 420 juta. Wajar jika misi itu mengambil nama Phoenix alias burung api. Dalam mitologi Mesir kuno, Phoenix adalah burung api legendaris yang keramat. Burung api ini digambarkan memiliki bulu sangat indah warna merah dan keemasan. Setelah hidup sekian lama, Phoenix membakar diri. Selanjutnya dari abunya muncul burung api muda. Jadi, misi Phoenix adalah misi yang hidup lagi.
Melalui ruang kontrol Laboratorium Propulsi Jet, Michael Griffin, Administratur NASA, mencatat bahwa ini merupakan sukses pertama pendaratan di Mars tanpa menggunakan kantong udara, sejak pendaratan Viking 2 pada 1976. “Ini untuk pertama kali dalam 32 tahun. Saya sangat bahagia menjadi saksi prestasi luar biasa ini,” tutur Michael Griffin dengan mata berbinar-binar.
Phoenix diluncurkan pada 4 Agustus 2007, menggunakan roket Delta II dari Tanjung Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Ia mengandalkan sumber listrik dari sehelai panel surya. Ketika terjun ke Mars, ia menggunakan parasut dan jet pendorong untuk menghambat kecepatannya. Kemudian Phoenix mengirim informasi pada wahana pengorbit Mars Odyssey, yang meneruskannya ke stasiun bumi.
Wahana antariksa tanpa awak ini memasuki atmosfer Mars dengan kecepatan lebih dari 19.200 kilometer per jam. Ia melakukan gerakan akrobatik, antara lain menukik, mengembangkan parasut, lalu membuka perisai penahan panas. Juga menyalakan pendorong (thruster) untuk memperlambat laju, sehingga ketika mendarat, kecepatannya akan turun hingga 8 kilometer per jam.
Phoenix mendarat di lembah dangkal selebar 48 kilometer di kutub utara Mars. Lokasi itu mirip dengan Greenland atau Alaska di bumi. Lokasi tersebut dipilih karena foto-foto ruang angkasa memperlihatkan adanya air beku tersimpan di bawah permukaannya.
Phoenix dilengkapi lengan robotik sepanjang 7,7 kaki –2,5 meter– yang bisa digunakan untuk menggali parit guna mencari lapisan es yang diduga terkubur beberapa inci dari permukaan. Robot wahana antariksa Phoenix berhasil dioperasikan dan meninggalkan jejak kaki di tanah Planet Mars. Jejak itu dijuluki Yeti. Lengan robotik mengumpulkan sampel tanah dan es serta menelitinya.
Lengan robotik berkamera juga mengambil gambar ”ratu salju” di tempat yang dipercaya ada es di bawah permukaannya. “Apa yang kami lihat pada gambar kemungkinan adalah es, dan kami menduga akan melihat hal yang sama ketika menggali di daerah itu,” kata Uwe Keller, pemimpin ilmuwan robotik kamera untuk riset sistem surya dari Institut Max Planck, Katlenburg-Lindau, Jerman.
Comments
Post a Comment
ayo di koment atuh